CATLIO di INDO part 3
Dia melepas ikatan rambutnya. Mengibaskannya lalu mengikatnya kembali. Pandangannya tak lepas dari orang yang berdiri dihadapannya. Yang ditatap menghisap rokoknya, lalu melemparkannya sembarang. Mereka bertatapan, berucap beberapa kata, lalu berpelukan. Sepertinya ucapan selamat tinggal. Entah untuk sementara atau selamanya.
Tidak. Aku tidak iri dengan mereka. Kota ini, stasiun ini mungkin memang punya hawa khusus yang membuatnya selalu istimewa. Tidak heran kalau kota ini sering disamakan dengan salah satu kota eropa yang memang terkenal romantis.
Cukup dua langkah dari keretaku ditambah pemandangan perpisahan dua manusia yang jelas aku tak kenal siapa untuk mengingatkan kembali semua kisah yang tersimpan di sudut stasiun kereta ini. Untuk sejenak, aku memperlambat langkahku, toh aku belum melihat bayangan penjemputku. Melihat ke kiri dan kanan, menelanjangi semua sudut.
Yap, itu satu. Di situ, aku masih ingat berdiri canggung dengan perempuan yang juga sepertinya kikuk dengan keadaan perpisahan pertama. Aku cuma mengusap kepalanya sekali saat itu. " Sampai ketemu Sabtu". Dia mengangguk lalu melambaikan tangan seperti menyuruhku masuk ke kereta. Mana aku tau kalo ternyata sehabis itu dia menangis semalaman cuma karena ditinggal 3 hari. Bukan karena tiga hari, tapi alasannya yang membuat dia menangis. Firasat seorang wanita. Sepertinya dia tau pasti kalau firasatnya akan jadi kenyataan.
Lalu, disana. Waktu canggung sudah binasa di antara kita.
Tidak ada ucapan selamat tinggal.
Cuma isak dan airmata yang berbicara.
Sekali ini sepertinya dia tidak tahan. Berpuluh mata yang menatap sudah tidak jadi halangan untuk acara perpisahan kami.
Tidak ada ucapan selamat tinggal.
Cuma janji untuk menunggu dan setia.
Tidak ada ucapan selamat tinggal.
Karena terlalu perih untuk diucapkan.
" Sekali lagi. Di Bandara. Kamu ingat kapan aku berangkat khan?". Dia mengangguk. Tidak berkata kata. Toh pasti suaranya juga terlalu pelan untuk mengalahkan suara hujan. Walau akhirnya kami tidak bertemu di bandara, tapi di stasiun kereta yang lain.
Terakhir...hmmm sepertinya di titik aku berdiri sekarang. Kereta sudah jalan, tapi kami masih berbicara. Berbicara selamat tinggal, terima kasih juga meminta maaf. Tidak dengan tangis. Cuma kata kata. Pergi untuk selamanya dari dia, menjemput asa yang menunggu di perhentian berikutnya. Sayang, perjumpaan terakhir yang tidak akan terlukis indah di benakku.
Empat tahun. Stasiun ini tidak berubah sepertinya. Aku yang berubah. Dia juga. Mungkin. Aku cuma bisa menebak dari SMS2 dan telefon yang singkat.
Ah sudah lah. Ku percepat langkahku seketika menyadari kehadiran sosok penjemputku. Perhentianku yang berikutnya.
CAD CAM Lab ditemani "All my life" nya Jesse harris