SIXTH SENSE
- Saya selalu bertanya bagaimana ayah atau ibu saya tau setiap saya berbuat kesalahan. Saya juga selalu bingung bagaimana beberapa pasangan saya bisa mengetahui ketika saya melakukan hal yang salah di belakang mereka. Walaupun saya mampu menutupi kesalahan kesalahan tersebut secara "sempurna". Sampai seorang teman menyebutkan sebuah kata "intuisi, bim, intuisi" -Dinda
Apa kabarmu di sana?
Lelahkah menungguku berkelana?
Lelahkan kau menunggu ku di sana?[Bertahan Di Sana, Sheila on 7]One message received. Tidak beberapa lama ketika temanku yang menjemput menepuk bahu ku lalu pamit untuk solat terlebih dahulu. An intense feeling. Undescribed. Something pass through my mind. Saya tahu sms ini dari siapa. Dan hebatnya, saya juga bisa merasa dari mana sms ini dikirim. It's not from 900 km away. Somehow, someway, I know it's not even one kilometer away.
Saya berdiri tegak. Menajamkan mata, telinga bahkan hidung. Ah tidak satupun indera saya dapat menjelaskan rangsangan ini. Saya menolehkan kepala saya ke kiri dan ke kanan. Mencoba menangkap tiap bayangan yang bergerak. Sesekali memejamkan mata, menguatkan keyakinan saya, bahwa yang saya cari memang ada disini. Saya yakin. Sepenuhnya yakin. Kalau sudah sedekat ini dan saya tidak bisa menangkapnya, saya yakin saya tidak seharusnya melakukan semua ini. Saya berpikir untuk lari mengikuti bayangan di kepala saya. Saya yakin mampu menemukannya. Saya ingin lari, loncat, mungkin terbang kalau bisa.
Seandainya aku bisa terbang.
Kan ku jelang engkau kekasih.
Seandainya aku bisa terbang.
Kan ku gapai engkau kekasih.[Seandainya aku bisa terbang, Kahitna]Teman saya datang kembali di hadapan saya setelah menyelesaikan solatnya. Saya tersenyum dalam hati. Saya tau dimana saya bisa menemukan bayangan itu. Dan seketika itu pula, jantung saya mulai bekerja dengan langkah yang mungkin menurut kebanyakan orang tidak bisa dibilang normal.
Pasti. Pasti di sana. Setelah melewati kerumunan kendaraan dan orang orang ini. Saya yakin pasti ada di sana. Saya diam. Mencoba memaki jantung saya dalam hati. Mengutuk kenapa mesti bekerja sangat extra pada saat ini. Mungkin karena darah mengalir terlalu cepat dalam tubuh saya saat itu, saya sedikit mengalami kegagalan dalam menangkap apa yang teman saya coba bicarakan disitu. Saya tidak mampu menangkap secara penuh apa yang coba disampaikan, dan juga gagal menemukan korelasi dengan apa yang saya ucapkan sendiri. Saya cuma tersenyum lebar ketika mendapatkan teman saya tidak mematikan mesin Honda CR-Vnya di tempat parkir.
Saya tetap berusaha tenang. Saya membenahi baggage saya, melangkah dengan ritme yang normal, lalu muncul di sampingnya. Tersenyum. Saya tahu kamu di situ. Jelas bukan pertemuan ala Hollywood ketika mereka yang saling mencari, berpandangan lalu berlari dan serta merta berpelukan. Saya cuma menatap tajam ke dalam. I know you are there, sweetie. Duduk dengan manis. Kamu sedang menantikan sebuah saat dimana kamu bisa memandang sebuah frame yang membungkus lukisan diri saya, khan? Maaf, saya tidak terkejut. I survived the surprise.
Moga-moga intuisi saya ketika saya kembali pergi, sama benarnya dengan intuisi saya saat itu. Amien.
Selamat tinggal kasih
Sampai kita jumpa lagi
Aku pergi takkan lama
Hanya sekejap saja
Aku khan kembali lagi
Asalkan engkau tetap menanti..
[Pergi Untuk Kembali, Ello]- ah begitu ya rasanya punya intuisi -CaTLioRedChair