SEBUAH MIMPI YANG TIBA TIBA HADIR (the ending)
- Dia datang. TIdak jelas sapaan pertama yang tampil. Dia hadir. Baunya. Rautnya. Suaranya. Hadir. Dalam sebuah bentuk maya. Indah. Pahit. Cantik. Perih. Manis. -
Jam 4.30 pagi. Saya bangun. Mengambil air wudhu. Solat Tahajud 4 Rakaat. Solat Witir 3 Rakaat. Saya tidak perduli dengan dingin air pagi ini. Saya perduli dengan hati saya yang butuh bertanya dan ingin dijawab. Banyak tanya yang butuh banyak jawab. Butuh bertemu.
Selepas subuh, saya berdoa panjang. Mandi dan berangkat ke kampus yang sebenarnya bukan kampus saya. Saya tidak punya kewajiban disini. Tapi kenapa teman2 saya yang harusnya ikut pergi masih tidur. Ah, bukan urusan saya.
Kenapa dia harus menghindar? Dari rapat himpunan sampai tugas yang mesti dikerjakan. Semua jadi alasan. Beri saya satu waktu. Untuk bicara dengan kamu. Jangan bungkam. Karena saya benci diam.
Saya melihatnya. Dari ujung mata. Dia melangkah melewati saya. Dia tidak siap bertemu dengan saya. Dia tidak berani menatap saya. Dia cuma bisa mengucap maaf kalau lupa menelpon saya semalam. Tanpa penjelasan. Hei, saya butuh bertemu. Sama kamu. Bicara tentang kita. Cerita kita berdua.
"Zak, loe anak KL khan?"
"Iye"
"Ada kelas abis ini"
"ada"
"Dimana?"
"nih"
I'll wait you here. Please don't run. Let's talk. Tell me the truth. Tell me the reason. Just tell me.
Kelasnya sudah selesai. Satu persatu keluar. Aku tidak perlu menoleh. Aku tau langkahmu. Aku tau baumu. Ah, kamu bisa gila kalau tau berapa banyak hal kecil yang aku tau tentang kamu. Tau kenapa? Karena aku memerhatikanmu sejak detik pertama wajah kamu lahir dalam hidupku. Saya ingat. Wajah kamu yang lelah, lalu dari jauh saya membaca satu..lima...lima...sembilan...delapan...kosong...kosong...tiga. K..H..R..I..S..N..A. (155? bah jurusan apa tuh? cewe ko' namanya khrisna).
Kamu keluar, melangkah cepat. Setengah lari.
"Ngapain sih ngikutin terus?"
"Ya abis kabur terus. Butuh ngomong, na. Butuh. Jelasin."
"Apalagi yang mesti dijelasin?"
Kamu melangkah makin cepat dan berhenti. Tepat di satu titik dimana seharusnya kita tidak berhenti. Satu tempat yang dalam radius kira kira dua puluh meter orang bisa melihat kita. Kamu diam. Menutup muka. Lalu menangis. Aku diam. Kamu berkata pelan.
"Bimo, idealnya memang kita berdua memutuskan untuk pisah. Tapi, keadaan khan tidak selalu ideal".
Menusuk. Perih. Tapi dari satu taun kita bersama. Mungkin ini pelajaran buat saya. Saya berusaha terlalu keras untuk menjadikan semua sempurna. Kamu mengingatkan saya. Tentang dunia. Tentang kenyataan. Yang jauh dari ideal. Ini kenang2an terindah dari kamu buat saya. Kadang saya lupa. Ketika teringat, saya menyesal. Rasanya seperti melupakan semua hal yang kita lewati bersama.
"Iya, dulu ina memang mau coba long distance sama kamu, tapi ina gak bisa. Ina selalu kangen. Ina gak tahan"
Ah, seandainya saya bisa percaya sama kamu. Sungguh. Saya ingin. Kalau ini benar alasannya. Kisah kita memang indah. Seperti Romeo dan Juliet. Seperti Clark dan Lois. Seperti Mickey dan Minnie.
"Iya, dulu ina juga nerima bimo lebih muda. Tapi setelah sekian lama, ina jadi ragu. Ina jadi bingung lagi"
Ah, sekali lagi saya ingin percaya. Tapi ini saya, dua setengah tahun lebih muda. Dan saya tidak akan bisa merubah. Dan saya selalu seperti ini. Sejak saya memandang kamu tiap waktu saat OSKM 98. Sejak kita menonton Armageddon bersama. Sejak saya nyanyikan kamu "Leaving on a jet plane" saat saya akan ke Singapore.
Tiba-tiba saya diam. Bukan karena saya tahu satu lapangan basket memerhatikan kami berdua. (andai saja dia tau sejak kali ini, perjalanan cinta saya jadi semarak di tempat tempat umum). Saya sadar saya sudah dapat pelajaran saya. Saatnya melepas dia. Sebagai tanda sayang. Saya kembalikan semua suratnya. Saya tidak bisa sembuh selama semua kata kata manisnya masih ada di depan saya. Saya berikan sapu tangan untuk menyeka matanya. Lalu mengantarnya ke musholla himpunan.
Malamnya kami bertemu untuk berpisah. Saya memberi sebuah boneka dengan sapu tangan yang menyeka matanya. Saya bilang itu saya. Menangis dalam hati kehilangan kamu. Kami tersenyum. Berbincang mesra seperti setahun sebelumnya. Menunjukkan kalau sayang itu masih ada. Sebuah kecupan sebelum lambaian tangan. Saya tahu dia masih menginginkan saya seandainya saja saya tidak pernah meninggalakan dia untuk mimpi saya.
Februari tahun depan, saya memulai kisah baru.
Aprilnya, dia memulai kisah baru. Tepat sebelum dia berkata "iya" pada lelaki barunya, saya menelpon mengucapkan selamat ulang tahun.
Catlio
CAD/CAM LAB
- Maaf, saya terlambat menyadari kalau akhir yang kamu persiapkan memang akhir terindah yang mungkin terjadi buat kita berdua. Ngomong2, kamu kemana sekarang? Sudah menikah? -