UNGU - VIOLET
- Sebuah cerita tentang fotografer dan perjalanan seorang wanita dari penjual karcis subway sampai menjadi model terkenal. A lovely movie but bad (I mean real bad ending) ending.
Begitu sempitnya waktu, begitu besarnya cinta -
Aku tak bisa luluhkan hatimu
Dan aku tak bisa menyentuh cintamu...
Seiiring jejak kakiku bergetar
Aku telah terpagut oleh cintamu
Menelusup hariku dengan harapan
(Namun kau masih) terdiam membisu[Padi, Menanti Sebuah Jawaban] Setelah satu jam menunggu teman saya treatment, satu jam macet menjemput teman saya satu lagi, lalu satu jam muter muter di jalan dan nyari bioskop yang muter filem ini, dan makan malam yang terburu buru, akhirnya saya duduk santai di PIM 21, enjoying the movie.
Ungu Violet adalah sebuah identitas yang tercipta dalam perjalanan yang sangat panjang. Untuk mencipta dan kemudian lahir melalui sebuah emosi dan ekspektasi yang terwakili dalam rasa biru dan merah yang kemudian bersatu menjadi ungu. Ungu yang mewakili rasa romantis, manis, mimpi, dan misterius. Ungu yang bergerak ke titik keindahan dalam keseimbangannya menjadi violet.
Cast
Dian Sastrowardoyo tetap menjadi satu daya tarik utama filem ini menurut gue. Seperti kebanyakan filem romantis yang menceritakan seorang gadis jelek yang berubah cantik, Dian Sastro dimake-up sedemikan rupa untuk menutupi cantiknya. Well, sama sekali tidak berhasil. Dian tetep keliatan kinclong sejak muncul pertama kali. Acting Dian sendiri, well tidak awesome, tapi jelas di atas normal. Di mata gue, Dian memang salah satu artis yang punya kemampuan di samping kecantikan lahiriah.
Rizki Hanggono sebagai Lando adalah salah satu hal yang buat saya "cukup" dalam filem ini. Rizki cukup pas dalam menggambarkan a cool photographer. Ekspresinya cukup memberikan aura dingin, kalem. Make up artists and costume design menurut gue sih cukup berperan baik untuk mendandani rizki menjadi seorang anak kuliah, yang nyari duit dari fotografi, dan misterius. Satu kekurangan yang amat terasa, Rizki, in my humble opinion, fail untuk berperan cukup baik saat dia dibutuhkan untuk menunjukkan emosi yang meledak ledak. Seperti saat dia menangis ketika berbicara dengan dokternya. Gue cukup yakin mendengar satu bioskop tertawa pas adegan ini, karena sumpah actingnya gak pas abis.
Setting
Satu hal yang gue suka banget dari filem ini mungkin settingnya. Rumah Lando dan Kalin bukan rumah yang mewah seperti di sinetron2 RCTi, malahan dua2nya cenderung kumuh. Tapi perabot dan tata letaknya memberi kesan yang buat gue sih cukup pas buat kedua peran dan juga enak diliat. (Sedikit mengingatkan gue akan "eiffel i'm in love" yang juga punya setting tempat yang bagus2)
Ada satu tempat favorite gue dalam filem ini yaitu suatu tempat di seberang mal taman anggrek yang ada papan reklamenya (Susah jelasin, nonton deh filemnya, bagus deh tempatnya). Gue ancungin jempol buat orang yang mempropose tempat ini buat dijadiin salah satu scene buat filem ini.
Dan buat cinematografer ato siapapun yang mengatur komposisi tiap gambar dalam filem ini, jgua gue ancungin jempol, filem ini lumayan cantik. Satu komposisi favorite gue adalah, ketika Kalin tidur di sofa apartemennya memandangin ikan dan surat yang diberikan oleh Lando. Great compo.
Cerita
Dari segi cerita, ungu violet cukup mengesankan sampai bagian akhir. Jujur, gue sangat kecewa dengan akhir dari filem ini. Ok, ketika nonton filem ini gue menaruh otak gue di mobil temen gue, jadi semua hal yang tidak logis gue gak pikirkan. Gue cuma duduk dan enjoy ceritanya. Gue merasa bisa menebak akhir cerita ini sejak filem ini diputar sekitar ya 20 menit. Gue makin amat sangat yakin dengan akhir cerita ini, karena sepanjang filem sepertinya semua penonton di guide untuk meyakini sebuah akhir cerita. Lalu, ada sebuah kejutan di akhir cerita.
Kalau kita inget the sixth sense, kejutan di akhir cerita menjadi greget filem itu. Kita akan inget kejutan itu setiap orang bicara about the movie. Di "ungu-violet", menurut gue, kejutan di akhir cerita malah membuat cerita ini tidak sweet enough. Membuat cerita ini malah mengecewakan, setidaknya buat gue. Well, I have no right to say this, but I do think if the story ends as I thought it would end, the movie will be more impresive.
Special Note
Gue punya satu scene favorite dalam filem ini. Kalin akan mengikuti sebuah audisi model iklan. Di dalam lift yang akan membawanya ke tempat audisi, dia bertemu salah satu saingannya yang lebih tinggi, seksi, dan cantik daripada dia. Kalin seketika merasa tidak percaya diri. Dian Sastro dengan sempurna menunjukkan ekspresi cemas atau panik tiba tiba dan hilangnya percaya diri dari Kalin. Kalin menoleh ke arah Lando yang ditanggapi dengan pandangan dingin dan tidak perduli oleh Lando. Rizki Hanggono dalam scene ini mampu menyorotkan sebuah kesan "Kenapa sih loe cemas? tenang aja lagi" lewat matanya. Lando lalu memegang tangan Kalin untuk menenangkannya. Kalin kemudian tersenyum dan kembali menemukan kepercayadiriannya.
Walau scene ini cuma sebentar, tapi buat gue ini scene terbaik dalam filem itu. Both Rizki and Dian, dalam scene ini, benar-benar mampu menunjukkan ekspresi yang tepat untuk menyampaikan suasana hati peran mereka dalam adegan ini.
Kesimpulan
In spite of a bad ending, gue lumayan suka filem ini. Buat gue filem ini jelas di atas "andai dia tau", "biarkan bintang menari", "Eiffel, I'm in love" tapi dibawah "Arisan", "AADC" dan "Mengejar Matahari".
Catlio
CAD/CAM Lab