MAPAN
"Buat gue, dia udah gak ada apa-apanya sekarang"" oooo"Itu sebuat cuplikan percakapan gue dengan seorang teman di MSN beberapa hari yang lalu. Seseorang yang baru merasakan sebuah exposure bermain dengan sebuah kelompok. Sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang cukup idealis, berbakat dan berani untuk merubah dunia secara extravangat. Sebuah kelompok yang identik dengan mereka yang menolak norma norma kemapanan. Sebuah kelompok yang mungkin secara fanatis didukung Simple Plan, Good Charlotte atau Avril Lavigne.
Teman saya tadi sebenarnya sedang berbicara tentang cintanya yang lama, yang berasal dari kaum "conformist". Golongan yang mencintai rasa nyaman dari kemapanan. Golongan yang sekolah sampe jenjang tertinggi (sekolah..bukan belajar!), kerja kantoran (manggut manggut ketika dimarahin boss), dan pulang membuahi istrinya yang pilih lewat sebuah value bernama "bibit bobot bebet". Golongan yang mungkin memikirkan dunia hanya saja dari skala yang lebih kecil ketimbang golongan yang saya sebut sebelumnya.
Gw gak punya keberatan dengan mereka yang protes secara gila gilaan dengan tuntutan orang tua mereka yang meminta mereka settle dan hidup dengan tenang. Dari pengamatan gue [1] , kebanyakan mereka dari golongan ini kebanyakan mengambil profesi seni. Pelukis, pemusik, graphic designer atau pembaca puisi. Dan kebanyakan mereka dari golongan ini, kerja freelance atau kerja di sebuah lingkungan yang tidak mengikat dan tidak birokratis. Gw mengagumi banyak orang yang ada di golongan ini. For example, berapa banyak orang sih yang emang mau mengambil profesi jadi guru buat anak anak suku terasing setelah lulus jadi dokter? Gw menghormati mereka atas keputusan mereka untuk mengikuti apa yang benar secara hakiki ketimbang benar karena kebanyakan orang menganggap benar. Dan well, jujurnya mereka yang ada di golongan ini kebanyakan kritis, fun loving dan cool.
Tapi gue juga gak punya keberatan dengan mereka yang memilih sebuah path yang diharapkan oleh orang tuanya. Well, gue gak begitu yakin dengan keadaan di negara lain, tapi di Indonesia, gw yakin hampir gak ada orang tua yang berkeberatan anaknya jadi insinyur atau dokter, sementara banyak orang tua yang pasti bingung kalo anaknya bercita cita jadi atlit angkat besi. Gue rasa ini bisa dimengerti karena kebanyakan orang tua kita tumbuh dan dewasa di masa Soeharto, dimana kebanyakan orang berhasil karena mereka mengecap sebuah pendidikan formal yang tinggi [2], lalu kerja disebuah perusahaan, mendapat gaji yang cukup, merintis jenjang karir. Wajar sekali kalo skrg kebanyakan orang tua secara berlebih menekankan pentingnya sebuah pendidikan formal, lalu memulai karir di sebuah pekerjaan yang terbilang mapan.
Yang lucu menurut gue, dua kelompok ini berseteru seperti Michael Jordan dan Magic Johnson taun 80an. Mereka itu gak menghargai kehadiran satu sama lain. Sampe detik ini, gw masih mendengar orang tua yang memaksa anaknya mengambil sebuah jurusan tertentu karena mereka pikir jurusan tersebut bisa memberikan pekerjaan yang lebih mapan seperti Akuntan atau Insinyur. Masih mendengar banyak orang yang berkomentar "ntar mau jadi apa?" ketika seorang memilih profesi kerja yang gak punya waktu dan penghasilan tetap seperti freelance photographer for National Geographic [3]. Masih mendengar orang yang memuja muja mereka yang bisa beberapa bahasa asing setelah kursus atau belajar di luar negeri. Dan, gw juga sering banget mendengar mereka, para "non-conformist" mencibir ketika seseorang bercerita dengan bangga diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta dengan gaji memukau atau mendapat straight 'A's pada ujian2nya [4].
Well, ini lucu, karena seakan mereka tidak menyadari kalo semua orang di dunia ini dari golongan mereka, this world will be damn boring. Gue rasa semua orang mesti sadar kalo tiap orang diciptakan dengan potensi yang berbeda. Gak semua orang dilahirkan untuk mencintai tanda cosinus dan sinus untuk menghasilkan sebuah jembatan yang melancarkan perjalanan kita tiap hari. Tapi, gak semua orang juga bisa menghasilkan bentuk, gerak dan suara yang indah yang bisa menghibur kita. Yang penting, semua orang harus punya rasa hormat dan toleransi satu sama lain.
CatlioRedChair[1] Seperti biasa, tanpa metode yang bisa disebut ilmiah.
[2] Sebuah fakta yang lucu, karena kita begitu menghargai mereka yang punya pendidikan formal yang tinggi. Masyarakat Indonesia silau denga gelar Master atau PhD sementara selama lebih dari 30 tahun kita dipimpin oleh seorang lulusan SD?
[3] At least when my mum knows I bought a relatively expensive camera, dia bertanya ," kamu gak niat jadi full-time fotografer khan?" secara sinis
[4] Gue pernah 'merasa' dihina ketika gue bilang achievement gue waktu SD, jadi juara 2 cerdas cermat nasional di TVRI. She said "Gak seru amat sih, belajar gitu"