DECISION ANALYSIS
- Waktu gue mendaftar program master ISE, gue menyempatkan melihat module2 yang ditawarkan. Salah satunya berjudul "Decision Analysis". Kegilaan gue akan pentingnya membuat keputusan dalam hidup meyakinkan gue untuk mengambil pelajaran ini sekalipun itu diluar major gue. Semester ini kebetulan sekali gue dapet kesempatan untuk ngambil module ini. Tiga lecture kemudian, gue kecewa -
Waktu gue memutuskan untuk mengambil pelajaran ini, gue berharap gue bisa secara efisien mengambil keputusan yang efektif. Berpikir secara sistematis dan rapih dalam mengambil keputusan. Dan dari tiga kuliah, pelajaran ini memang memberikan itu semua. Dosennya sendiri sangat superior. Dia bisa jelasin dengan baik. [1]. Gak ada yang salah juga dengan assignment atau teman sekelas [2]. Kalo ada yang salah, ya rasanya kepala gue ini.
Dalam dua kuliah pertama, si Dosen menjelaskan tentang pilihan-pilihan. Intinya, dia menjelaskan bahwa kita harus punya informasi yang lengkap untuk tau semua pilihan kita, dan setiap pilihan itu punya yang namanya risk level atau gampangnya probabilitas itu akan gagal atau tidak menyenangkan. Pelajaran ini akan membantu kita untuk mengetahui pilihan yang terbaik dengan resiko yang paling rendah. Dan ya itu khan yang saya cari?
Kenyataannya setelah dengar itu semua, gue yakin mereka yang terbiasa membuat keputusan tiap harinya, sangat sadar dengan semua hal ini. Mereka butuh tau/menyiapkan:
1. Informasi lengkap.
2. Resiko tiap keputusan.
3. Konsekuensi tiap keputusan.
Nothing genius!
Rasanya kekecewaan gue itu berasal dari berubahnya pikiran gue bahwa the decision making is not the most crucial step in our lives. Alasannya begini. Kita bisa meminimalkan resiko, kita bisa memilih alternatif terbaik dari semua yang ada, tapi selalu ada chance yang terjadi adalah bukan yang kita rencanakan. Bisa saja kita memilih alternatif terbaik, tapi toh itu tetap bukan keadaan ideal, kita masih "kehilangan" . Bisa juga kita memilih sebuah keputusan dengan tingkat resiko terbaik, tapi kalau Yang Di Atas sudah memutuskan, itu bisa jadi sia-sia. Gue jadi berpikir, lalu kenapa mesti menghabiskan tenaga untuk membuat keputusan kalo itu semua bisa jadi sia-sia dan kita tetap kehilangan/ rugi.
Gue secara tidak sengaja mengingat komentar seorang teman waktu berbincang di Spinelli Orchard. Lalu tersadar bahwa sebenarnya, langkah setelah keputusan itu diambil yang sebenarnya sangat penting. Yang sebenarnya selalu membuat kita susah adalah keengganan kita menanggung akibat dari keputusan kita, baik yang kita ambil atau yang kita dapat.
Sebagai contoh. Misalkan gue harus memilih antara menikahi Luna Maya saja atau menikahi Luna Maya,Titi Kamal dan Adriana Lima sekaligus. Ya walaupun kelihatannya cukup jelas keputusan yang lebih baik, gue sangat mungkin mengeluh bahwa suatu saat nanti gue kehabisan sperma atau ya tidak cukup waktu untuk menikmati eh menemani istri saya atau ya gak punya duit untuk hal lain karena minimal akan punya enam tanggungan (tiap istri pastinya mau punya anak minimal satu dong). Gue akhirnya tidak bisa mensyukuri sesuatu yang harusnya sangat menyenangkan dan merasa bahwa saya membuat keputusan yang salah.
Gue rasa di sekitar kita banyak sekali contoh yang serupa [3]. Mereka yang sudah memilih untuk menikah tapi tetap tidak bisa melepas cinta lamanya (artinya serakah dan gak mau nerima konsekuensi udah milih yang satu tapi yang laen masih dijaga). Mereka yang begitu terpuruk karena mengambil keputusan salah dalam karirnya (selalu menyesali keadaan atau kebodohan mereka yang membuat mereka salah mengambil keputusan). Mereka yang memilih pekerjaan daripada studi lalu menyesal karena tidak punya pendidikan yang cukup. Mereka yang complaint dengan hubungan mereka yang begitu banyak cobaannya padahal cobaan itu sudah mereka tahu sejak awal mereka memulai hubungan itu[4]. Intinya, banyak orang yang menderita bukan karena mengambil keputusan yang salah tetapi karena mereka tidak bisa menerima konsekuensi- konsekuensi dari keputusan dan pilihan yang ada.
Gue cuma tersadar kalau keputusan kita itu juga bukan sepenuhnya kita yang punya karena keputusan kita biasanya tidak menyangkut diri kita sendiri. Keikhlasan kita, di lain pihak, adalah punya kita. Dan menurut gue justru ini yang kita harus atur. Yang kita harus latih dengan baik untuk menerima keputusan Yang Di Atas. ( Gue yakin Yang Di Atas juga punya andil atas keputusan yang kita ambil. Toh, Dia punya kuasa atas segala hal khan? Termasuk hidayah untuk kaumnya). Nah, kalau kita siap menerima semua keputusan/ kemungkinan yang ada, apapun keputusan kita jadi sangat tidak berarti. Non-relevant kalo kata orang jawa [5]. Coba deh inget, sering kali kita saat membuat decision ada beberapa kejadian dimana kita lalu bilang, "ah ya sudah Nothing To Lose, just go ahead with this option" [6]. Biasanya, kalo udah gitu kita bisa lebih kalem dalam membuat decision dan jauh lebih santai menerima apapun yang terjadi. Nothing To Lose ini sebuah kondisi yang sama kalo kita bisa nerima apapun outcome yang akan terjadi dari decision kita. In short, we are indifferent about the result. Jadi apapun yang terjadi, kita bisa tetap calm, cool menjalaninya.
- I just realized for such a long long time I was too obsessed about how to make the right and good decisions where in fact I actually have to learn about how to manage the consequences of my decisions. So it's not about decision making but its about managing consequences. Do they have subject like that in university? Let me know if you know some. -
Catlio
Bukit Gombak 386
[1] Semua dosen yang bisa membuat gue tidak tidur setelah setengah jam lecture saya anggap superior.
[2] Gue sekelas dengan salah satu cewe terpintar waktu gue kuliah. Yang selalu sangat baik meminjamkan catatan dan tugasnya buat saya contek. Gimana gak kurang enak coba?
[3] Maksud gue bukan mesti milih antara Luna Maya dan teman2nya,tapi ketidakmampuan menerima konsekuensi.
[4] Gue gak nyentil kalian berdua yah. Kalian teman-teman terbaik gue ko'. Dan jujurnya kata-kata ini gue dapet dari kalian sendiri bahwa you can do anything as long as you know and ready for the consequences.
[5] Maaf, orang Toraja maksudnya. (taelah..apa sih maksudnya)
[6] Gue sebenarnya sangat against dengan kata-kata "Nothing to Lose" karena gue yakin kita selalu lose something saat kita dihadapkan pada sebuah keputusan. Mungkin karena gue sangat cinta pelajaran Economics, jadi konsep "There is no such thing as a free lunch" tertanam sangat dalam di kepala gue.